Kopi di Indonesia
Kopi Indonesia, yakni kopi yang diperbudidayakan dan di-export dari Indonesia, sekarang ini tempati rangking ke-4 paling besar di dunia dari sisi hasil produksi sekitar 648.000 ton, sesudah Brazil, Vietnam dan Kolombia.[1]
Biji kopi yang tumbuh di Indonesia, pada intinya cuma terdiri dari tiga jenis, yakni biji kopi arabika, biji kopi robusta, dan biji kopi liberika.[2] Kopi di Indonesia mempunyai riwayat panjang dan mempunyai peran penting untuk perkembangan ekonomi warga di Indonesia. Indonesia diberi berkah tempat geografisnya yang pas digunakan sebagai tempat perkebunan kopi. Tempat Indonesia benar-benar bagus untuk cuaca micro untuk perkembangan dan produksi kopi
lebih enak lagi sambil minum kopi sambil mendapatkan cuan yang besar, hanya duduk di rumah dan menikmati kopi anda bisa medapatkan cuan yang besar cukup bergabung bersama kami di MANTAP168 jadi tunggu apa lagi langsung bergabung bersama kami nikmati cuan tiada henti.
Benih kopi arabika untuk pertamanya kali ditanamkan di pulau Jawa, persisnya di wilayah Kedawung, sebuah perkebunan berada dekat sama Batavia (nantinya jadi Jakarta) oleh pemerintah Belanda di tahun 1696,[3][4] langsung dibawa oleh pimpinan kapal dagang Belanda, Adrian van Ommen dari Malabar, India. Usaha ini alami ketidakberhasilan, karena musibah gempa bumi dan banjir, yang terjadi pada periode itu.[5] Pemerintah Belanda lakukan usaha penanaman ke-2 dengan datangkan setek pohon kopi dari Malabar dan alami keberhasilan, dan kopi yang dibuat berkualitas baik sekali hingga jadi bibit untuk semua perkebunan yang diperkembangkan di Indonesia. Pemerintahan Belanda pada akhirnya memperluas area budi energinya ke Sumatra, Sulawesi, Bali, Timor, dan beberapa pulau yang lain di Indonesia.[4]
Di tahun 1706, saat kopi tumbuh dengan lambak di Jawa, oleh pemerintahan Belanda, benih kopi yang tumbuh di bantaran Ciliwung, dikirim ke kebun botani di Amsterdam untuk dilaksanakan riset, di mana hasilnya, kopi itu berkualitas bagus.[3]
Lima belas tahun selanjutnya, atau mungkin kurang lebih dari tahun 1711, Bupati Cianjur, Raden Aria Wira Tanu III, mengapalkan sekitaran 4 kuintal kopi ke Amsterdam, dan export kopi pertama itu pecahkan rekor harga lelang di situ. Di tahun 1714, Raja Louis XIV dari Prancis, minta benih Coffea arabica var. Arabica atau dikatakan sebagai Coffea arabica L. var. typica (untuk seterusnya dikatakan sebagai tipika) dari Wali Kota Amsterdam Nicolaes Witsen. Ini karena raja Prancis itu memperoleh bukti jika kopi asal pulau Jawa memperoleh harga paling tinggi dalam lelang di Amsterdam, Belanda, hingga ia inginkan varietas kopi itu menjadi sisi dari kebun raya Jardin des Plantes di kota Paris, Prancis.[3] Benih kopi Jawa yang berada di kebun raya Jardin des Plantes dibawa sama perwira angkatan laut Prancis ke Martinique, salah satunya koloni Prancis di Karibia.
Di tahun 1726, kurang dari 2.145 ton kopi yang dari pulau Jawa, banjiri benua Eropa, menaklukkan kopi mocha dari Yaman yang awalnya jadi penguasa pasar. Dan karenanya juga, kopi yang dari pulau Jawa mulai dikenali nama Java coffee.[3]
Benih yang diberi oleh Nicolaes Witsen, aslinya tumbuh di bantaran Ciliwung, seperti Daerah Melayu dan Jatinegara atau dulu dikenali nama Meester Cornelis, yang disebut tempat awalnya perkebunan kopi di Jawa dan bibitnya dibawa orang Belanda dari Sri Lanka.
Disamping itu, pada awal tahun 1720-an, Belanda mengirim benih kopi jawa ke Suriname, karena tergoda dengan harga yang lebih tinggi, untuk buka perkebunan di situ. Dari 2 tempat itu, benih kopi jawa menebar ke Amerika tengah dan Amerika Selatan. Tapak jejaknya kelihatan di Amerika Latin, yakni di Ethiopia. Di situ ada varietas tipika yang saat ini telah mempunyai merk Blue Mountain yang ditanamkan di Jamaika dan Geisha atau Gesha, di mana nama tersebut merujuk pada nama desa pemroduksi kopi di Ethiopia yang tumbuh di Panama.
Pada zaman Tanam Paksakan atau Cultuurstelsel sekitaran tahun (1830 — 1870) di periode penjajahan pemerintahan Belanda di nusantara, mereka buka sebuah perkebunan komersil pada koloninya di Hindia Belanda, terutamanya di pulau Jawa, pulau Sumatra dan beberapa Indonesia Timur. Tipe kopi yang diperbudidayakan ialah arabika yang dihadirkan secara langsung dari Yaman. Sebelumnya pemerintahan Belanda menanam kopi di wilayah sekitaran Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing dan Sidikalang. Kopi ditanamkan di Jawa Timur, Jawa tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores.
Di tahun 1878, di sebagian besar tempat perkebunan kopi Indonesia, khususnya yang berada di daratan rendah, hancur terserang hama penyakit karat daun (Hemileia vastatrix – HV), yang pada periode itu kopinya sejenis arabika. Penyakit ini berbentuk jamur yang makan daun seperti karat yang menggerus besi, hingga beberapa petani selanjutnya mengatakan sebagai penyakit karat daun.[6] Pada sekitaran tahun 1880-an itu, Jawa kehilangan kekuatan untuk mengirim kopi ke luar negeri sampai 120.000 ton dan menyebabkan pasar kopi dunia jadi cemas.[6]
Pemerintahan Belanda menanggulanginya dengan datangkan spesies kopi Liberika (Coffea Liberica) yang diharap lebih tahan pada hama ini. Tetapi usaha ini alami ketidakberhasilan, karena mereka terserang hama yang serupa.[4]
Baru di tahun 1907, pemerintah Belanda datangkan spesies yang lain, yakni kopi robusta (Coffea canephora). Dan usaha mereka ini kali sukses dan sebagian besar perkebunan yang berada di daratan rendah tidak terserang kembali hama penyakit karat daun.[4]
Di pasar dunia, kopi ‘Blue Mountain’ yang dari Gesha, yang sebenarnya turunan dari kopi jawa, sempat jadi bintang. Satu kilogramnya dapat capai harga di atas USD1.000 dalam kurs yang berjalan sekarang ini.[6] Bahkan juga salah satunya cafe di Los Angeles, Amerika Serikat, sebelumnya sempat jual satu cangkir Gesha sampai USD55. Geisha ini sebagai persilangan di antara kopi tipika dan varietas yang lain. Biji ini kerap kali jadi unggulan beberapa peracik dalam gelaran persaingan beberapa peracik kopi internasional.
Pada permulaan era ke-20, perkebunan kopi di nusantara mulai diserang hama, yang nyaris menghancurkan semua tanaman kopi. Pada akhirnya pemerintahan penjajahan Belanda sebelumnya sempat memilih untuk coba menukarnya dengan tipe kopi yang semakin lebih kuat pada gempuran penyakit yakni kopi Liberika dan Ekselsa. Menariknya, di wilayah Timor dan Flores yang pada waktu itu ada di bawah pemerintah bangsa Portugis tidak diserang hama walau tipe kopi yang diperbudidayakan di situ kopi arabica.
Pemerintahan Belanda selanjutnya menanam kopi Liberika untuk mengatasi hama itu. Varietas ini tidak berlama-lama terkenal dan diserang hama. Kopi Liberika saat ini masih bisa dijumpai di pulau Jawa, walaupun jarang-jarang ditanamkan sebagai bahan produksi komersil. Biji kopi liberika sedikit besar ukuran dibanding biji kopi arabika dan kopi robusta.
Sebetulnya, perkebunan kopi ini tidak diserang hama, tetapi ada revolusi perkebunan dan pekerja perkebunan kopi menebang semua perkebunan kopi di Jawa pada terutamanya dan di semua Indonesia secara umum